Selamat
malam, bagi kalian mungkin sekarang waktu pagi, siang atau bahkan sore saat
membaca cerita ini, ini adalah sebuah cerita klise tentang titik balik dari
sebuah rasa kecewa yang amat sangat besar. Ada sebuah pepatah mengatakan “Jangan
terlalu berharap terhadap manusia atau nanti kau akan kecewa.” Ya itu benar
adanya, tapi tidak untuk wanita bersurai hitam yang sedang bersiap membuka luka
kecewa itu.
Senyum
tipis terpatri diwajah manis wanita bersurai hitam itu membayangkan masa lalunya,
namun kini ia harus mengulik kembali luka lama yang sudah sembuh. Untuk
sebagian orang mungkin enggan untuk membuka kembali luka lama yang susah payah
mereka sembuhkan atau mungkin bahkan ingin mereka lupakan tapi tidak bagi Kei,
ya wanita itu bernama Keinarra Aurora, akrab disapa Kei. Dia dengan senang hati
membuka luka lama itu, memangnya kenapa,? Toh juga sudah sembuh meskipun dibuka
kembali tak akan menimbulkan sakit lagi bukan?
Kei
bersiap menuangkan ceritanya dalam sebuah cerita, jemarinya menari-nari di atas
keyboard laptopnya dengan lincah.
Cerita
ini berawal pada tahun 2010 saat Kei baru saja menyelesaikan pendidikan
menengah atas, seperti kebanyakan remaja lainnya dia dengan semangat menyiapkan
berkas-berkas yang diperlukan untuk mendaftar di Perguruan Tinggi bolak-balik
ke kota untuk mengikuti tes Try Out, belajar siang-malam tanpa mengenal lelah,
mengatur waktunya sebisa mungkin untuk belajar dan menonton drama korea
kesukaannya sampai dia yakin bahwa dirinya siap untuk final test.
Sampai
tiba pada waktu ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri incarannya dia dengan yakin
dan percaya diri bahwa semua jawaban yang dia isi benar dan kalaupun ada
kesalahan itu tak akan mempengaruhi penilaian juri terhadap hasil ujiannya
namun tiba di hari pengumuman hasil test, nama Keinarra Aurora tak terdapat dalam
daftar nama yang diterima di PTN tersebut, mata Kei memincing melihat satu nama
yang ada dalam daftar tersebut, nama yang sangat dia yakin bahwa pemilik nama
itu tak seharusnya diterima dalam test di PTN tersebut, ia menarik nafas dan
menghembuskannya kasar.
Kecewa,
marah, sedih semua perasaan itu bercampur aduk dalam hatinya, hari ini sungguh
buruk baginya, kacau semua tidak sesuai dengan rencana yang sudah ia susun
sedemikian rupa. Kei berjalan cepat dengan wajah yang sangat sulit untuk
dijelaskan menabrak orang yang berlalu-lalang di sepanjang jalan PTN tersebut,
tidak peduli dengan teriakan marah orang yang ia tabrak Kei hanya terus
berjalan mencari tempat untuk sendiri dan menjernihkan pikiran dan hatinya.
Hujan turun membuat harinya semakin buruk saja “Sial!” umpat Kei. Dengan gusar
ia bangun dari bangku taman yang baru saja ia duduki dan memutuskan pulang
menerabas lebatnya hujan kala itu, biarlah mungkin saja rasa kecewa dan
marahnya luntur bersama air hujan yang membasahinya. Namun itu belum seberapa
masih ada bagian yang jauh lebih mengecewakan lagi bagi Kei, tunggu dan bersabarlah dalam membaca cerita ini
sampai pada cerita intinya.
Waktu
berlalu, kecewa sembuh beriringan dengan berjalannya waktu. Kei menempuh
pendidikan di sebuah Perguruan Tinggi Swasta terkenal di kotanya, ia bisa
berdamai dengan keadaan dan kenyataan, semua berjalan semestinya, sesuai dengan
susunan masa depannya namun hanya sementara, ingat hanya sementara!
Bangun
pagi, mandi, sholat, berdandan dan sarapan seadanya ala anak kost, menyiapakan
materi kuliah hari ini, dan bertemu dengan teman sudah menjadi kebiasaan rutin
yang sudah Kei jalani selama hampir 2 tahun ini lancar tanpa hambatan seperti
jalan bebas hambatan di kota-kota besar. Namun pagi ini, tepatnya pukul 04.30
subuh telepon selulernya berdering beberapa kali tak perlu waktu lama dia
segera menerima panggilan telepon tersebut, belum sempat dia mengucapkan salam
suara diseberang sana sudah terlebih dulu membuatnya tercekat matanya
berkaca-kaca tangannya gemetar dengan suara bergetar Kei berucap “Innalilahiwainaillahirojiun,
ya Paman, Kei pulang sekarang juga.” Tangisnya pecah membuat beberapa teman
satu kostnya berdatangan ke kamarnya, menanyakan ada apa dan mengambilkan minum
untuknya, setelah agak tenang Kei bicara bahwa kedua orangtua nya meninggal
karena sebuah kecelakaan tunggal.
Dunia
Kei seakan runtuh mengetahui fakta bahwa dirinya kini hanya sebatang kara,
orangtua nya meninggal dan fakta bahwa dirinya seorang anak tunggal semakin
membuatnya sedih, banyak yang terlintas dibenaknya, bagaimana dia akan
melanjutkan hidup, dengan siapa, dan bagaimana pula dengan kuliahnya? Perlu
diketahui Kei memiliki harga diri yang sangat tinggi, dirinya akan merasa
sangat malu jika ternyata kulihnya harus berhenti ditengah jalan karena masalah
finansial. 40 hari berlalu setelah kematian kedua orangtuanya, Kei kini berubah
drastis sejak kedua orangtuanya meninggal, ia tak lagi seceria dahulu, murung,
sedih, tak pernah berangkat kuliah, sering keluar malam dan tak pernah lagi
menjalani kewajibannya sebagai seorang muslim. Sekali, Kei pergi dari sore
menjelang pukul 02.30 pagi baru kembali dengan keadaan mabuk diantar oleh
seorang laki-laki yang badannya penuh dengan tato, Paman yang kini mengurus Kei
menegurnya untuk jangan berprilaku seperti itu dan kembali menjalankan
kewajibannya sebagai muslim, sholat dan mendo’akan kedua orangtuanya namun, Kei
menatap galak Pamannya.
“JANGAN
SEKALI-KALI MENGINGATKAN AKU SOAL BERIBADAH PAMAN, PERSETAN DENGAN SEGALA
IBADAH TUHAN ITU TIDAK ADA, DIA TIDAK ADIL! MANA TUHAN? ADA DIMANA DIA
SEKARANG? AKU HAMBANYA YANG SELALU TAAT AKAN PERINTAHNYA PAMAN, SEKALIPUN AKU
TAK PAERNAH MENINGGALKAN SHOLAT TAPI KENAPA DIA AMBIL IBU DAN AYAH? DIA MEMBUAT
SEGALANYA MENJADI RUMIT SETELAH KEMATIAN IBU DAN AYAH, KULIAHKU BERANTAKAN,
BAIK KELUARGA IBU ATAU AYAH MEREKA SEMUA MENJAUHIKU PAMAN, TUHAN HANYA DIAM
MELIHATKU MENDERITA, KESAKITAN DENGAN SEMUA INI, AKU KECEWA PAMAN. AKU BENCI
TUHAN.”
Plaakk!!!
Tamparan keras mendarat diwajah Kei, dia manatap tak percaya Pamannya melakukan
hal itu padanya. “SADAR KEI! APA YANG KAMU UCAPKAN ITU SALAH, TUHAN AMAT
MENYANYANGIMU, DIA MEMBERIKAN UJIAN SEBESAR INI KEPADAMU KARENA SANGAT SAYANG
PADAMU.” Paman menangis menatapnya, suaranya melembut “Sadarlah Kei, kamu bisa
melanjutkan kuliahmu, paman bisa membiayai pendidikanmu sampai selesai, jangan
seperti ini, ayah dan ibu juga tidak mau melihatmu seperti ini Nak,”
Kei
pergi meninggalkan paman tenggelam dalam pikirannya terselip haru di hatinya
melihat Paman, satu-satunya orang yang perduli padanya menangis memohon
kepadanya namun rasa kecewa dihatinya terlampau besar hingga tangisan Paman tak
ada artinya bagi dirinya.
Seperti janji Tuhan bahwa akan ada
pelangi setelah hujan, begitu pun dengan Keinarra, Paman percaya suatu saat
pasti akan ada keajaiban untuknya.
Sebuah
keajaiban, saat Keinarra dipertemukan dengan Bintang, anak perempuan berusia 7
tahun dengan keadaan fisik yang kurang sempurna itu mengulurkan sebotol minuman
untuknya saat dia sedang duduk ditaman, Keinarra menatap sejenak uluran tangan
tersebut tersenyum tipis dan menerimanya, “terimakasih.”
“Boleh
saya duduk disini kak?” Tanya Bintang takut, matanya mengerjap, lucu.
“Boleh,
duduk saja,” Keinarra tersenyum sembari membantu Bintang duduk dibangku taman.
“Kakak
sedang sedih ya? Bintang sering melihat kakak menangis sendirian ditaman ini-,”
“Namumu
Bintang?” Tanya Kei, Bintang hanya mengangguk, Kei tersenyum menarik nafas
panjang
“Iya,
Bintang kakak sedang sedih, marah dan kecewa”
“Dengan
siapa?” Tanya Bintang menyelidik
“Dengan
Tuhan, Tuhan amat sangat jahat terhadapku, Dia mengambil Ibu dan Ayah dan
membuat segalanya berantakan, semua yang sudah aku persiapkan dengan rapih
hancur berantakan karnaNya. Maaf Bintang, tapi apa boleh kakak bertanya tidak
kah kamu merasa kecewa terhadap Tuhan karna keadaan fisikmu, bukankah kamu
seperti ini juga karnaNya?”
“Tidak!”
dengan penuh keyakinan Bintang mengucapkan itu.
“Mengapa?”
Keinarra tercengang,
“Apa
kakak tau meskipun dengan keterbatasan fisik seperti ini, aku pandai melukis,
Tuhan sangat menyanyangiku, fisikku memang kurang tapi Tuhan memberikan sebuah
kelebihan untukku dan ada begitu banyak orang-orang yang menyanyangiku dan aku
sama seperti kakak tidak memiliki orangtua, bahkan aku tak tahu dimana dan
siapa orangtua kandungku, sejak kecil aku sudah tinggal di panti asuhan, Bunda
bilang dia menemukan aku di dalam sebuah kardus depan pintu masuk panti.”
Dia
bungkam seribu bahasa, matanya bergetar. Tertampar kenyataan.
“Bintang
memang masih kecil, dan belum mengerti bagaimana caranya menyusun masa depan
sebaik mungkin seperti kata kakak. Bintang hanya menjalani hidup ini seperti air,
membiarkannya mengalir mengikuti arus meski harus melewati berbagai kotoran
tapi hidup Bintang terus mengalir sampai bertemu muara. Tuhan tak pernah
menyiapkan sesuatu yang buruk kepada hambaNya kak, dia memberikan ujian hanya
agar kita bisa lebih dewasa dan lebih kuat dalam menghadapi berbagai hal
nantinya. Percaya lah Tuhan itu maha baik, akan selalu ada pelangi setelah
hujan.” Bintang tersenyum menggenggam tangan Kei. Kristal bening mengalir dari
pelupuk matanya, bagaimana bisa anak sekecil ini mampu berfikir dan berbicara
layaknya orang dewasa seperti ini.
Kei menghapus air matanya, bangkit
dan memeluk bintang menumpahkan air matanya dalam pelukan Bintang. Batinnya
mengucapkan terimakasih telah mempertemukan Bintang padanya.
“Bintang,
mau ikut kakak pulang kerumah? Makan malam bersama Paman kakak?”
Bintang
menggeleng, “Maaf, kak tidak bisa, hari ini ada makan malam rutin bersama
penghuni panti lainnya dan Bintang juga belum izin dengan Bunda. Mungkin lain
waktu kak.”
“Baiklah,
bisa kah besok kita bertemu lagi disini? Kakak akan ada disini besok pada sore
hari dan ini nomer handphone kakak berikan pada Bunda untuk menyimpan nomer
kakak, kakak masih ingin ngobrol banyak dengan kamu.” Tersenyum, senyum tulus
setelah sekian lama dari Kei.
Bintang
memeluk Kei sebelum pergi dan berbisik lembut ditelinga Kei. “Kakak harus
bahagia sama seperti Bintang.” Bisikan yang sangat menenangkan hati Kei.
Paman tercengang Kei pulang dan
langsung menghambur memeluk Paman menumpahkan segela kegundahannya selama ini,
amarahnya, rasa sepinya, segalanya. Menceritakan segalanya dan menangis seperti
seorang anak perempuan menangis dalam pelukan ayahnya, menceritakan
pertemuannya dengan Bintang yang membuatnya tersadar bahwa Kei jauh lebih
beruntung dalam berbagai aspek. Kei mengambil air wudhu, sholat. Menangis dalam
sholatnya memohon pengampuan pada Tuhannya. Intropeksi diri, bahwa selama ini,
ia terlalu percaya diri bahwa dialah yang mengatur hidupnya akan jadi seperti
apa, sombong akan segala rencananya masa depannya. Dia lupa bahwa manusia hanya
bisa merencanakan tapi Tuhan yang menentukan.
Paman dan Kei pergi kepanti, minta
izin kepada Bunda akan mengajak Bintang jalan-jalan keliling kota. Paman
menceritakan semuanya tentang Keinarra sampai akhirnya dia bertemu Bintang. Paman
mengatakan bahwa biaya pendidikan Bintang sampai dia menempuh pendidikan di
Perguruan Tinggi akan di biayai oleh Paman. Dia begitu bahagia keponakan
tersayangnya kembali seperti dulu. Kei menjalani hidup seperti dulu, tidak lagi
keluar malam, mabuk dan keluyuran tak jelas. Kei melanjutkan lagi pendidikannya
dan selang beberapa tahun Keinarra lulus dengan nilai terbaik di kampusnya.
Hubungannya dengan Bintang semakin erat, Kei menganggap bintang seperti adiknya sendiri,
Bintang pun sering menginap di rumah Kei dan berjalan-jalan bersama saat
weekend. Rencanya Tuhan memang unik, pertemuannya dengan Bintang menjadi titik
balik dalam kehidupan Keinarra. Siapa yang tahu akan rencana Tuhan, esok hari
Bintang menjadi seniman hebat meski dengan keterbatasan fisik dan bisa membuka
galeri seni sendiri dan Kei menjadi pengusaha sukses berkat kerja kerasnya.
Benar kata Bintang, biarkan saja hidupmu mengalir seperti air jika bertemu
kotoran hanya tinggal lewati saja sampai bertemu dengan muara. Satu hal yang
Kei terapkan dalam hidupnya sekarang dia mengutip dari ucapan Idol Kpop
idolanya.
Do your best and leave the rest to Go.
Komentar
Posting Komentar